Selasa, 05 Juni 2018

Victor Yeimo: Saya kagum pada Mahasiswa Uncen, USTJ & Umel Mandiri Yang Memakai "Koteka" Ke Kampus

Foto: pada saat proses belajar mengajar 

Mengenakan koteka, Mahasiswa mulai marak ikut proses studi di Kampus Uncen, USTJ, juga Umel Mandiri. Dosen tegur. Beberapa Mahasiswa/i melihatnya jijik. Yang lain merasa minder/malu. Barangkali yang lain mengira ini manusia gila, tak bertetika, atau sekedar mencari sensasi.

Lalu mereka menjawab. Saya justru kagum pada jawaban mereka, yang menunjukkan mereka memiliki basis argumentasi kuat, dalam menghadapi beragam pandangan di kampus:

Pertama, mereka menyatakannya sebagai busana diri. Kedua, mereka lantas mengakui sebagai aksi menolak eksploitasi busana koteka. Ketiga, secara fungsional, mereka merasa nyaman belajar dengan mengenakan busana koteka. Keempat, tentu sebagai upaya melestarikan budaya leluhur.

Saya lihat mereka berangkat dari perenungan yang mendalam, dengan kecintaan besar terhadap jati diri mereka sebagai manusia Papua. Sementara, pihak yang mandangnya "tidak beretika" datang dengan kooptasi etika moderen: berpakaian.

Etika benar dan salah bersumber dari pikiran manusia. Dibentuk oleh peradaban yang berkuasa. Sehingga kalau berpakaian milik budaya barat (eropa) adalah beretika, maka kita hendak bilang busana koteka yang berkembang dalam perabadan orang Papua itu tidak beretika.

Lalu, barangkali kita hendak bilang koteka biar hanya menjadi simbol (stereotip). Hanya boleh menjadi bahan pertunjukkan di acara-cara. Atau hanya sekedar mode dalam seni photography. Dan lebih gila, koteka adalah busana kuno, yang  dipandang sebagai simbol ketertinggalan, kebodohan, tidak beradab.

Gerakan Mahasiswa ini (saya katakan gerakan karena memiki visi), hendak menolak  dan mengembalikan pandangan buruk terhadap identitas busana diri mereka. Pertanyaanya, apakah itu memiliki dampak dalam mengembalikan (melestarikan) budaya leluhur?

Dari dasar argumentasi mereka, tentu memiliki dampak. Mereka memiliki visi untuk menghentikan pakaian dengan segala macam mode yang lambat laun merubah kesadaran (nilai-nilai diri) manusia Papua. Merubah paradigma orang-orang Papua yang terus menjadi budak mode (fashion) dari luar.

Ketika anak muda milenia tenggelam dalam budaya hedonis, huru-hara, yang mengukur kemanusiaan dari produk penampilan moderen. Yang jelas-jelas, tidak hanya mode (fashion), tetapi diikuti dengan rias wajah, kulit, dan rambut. Kriting dipaksa lurus, Hitam dipaksa jadi putih. Lalu dari yospan menuju goyang Patola, dll.

Disitulah Papua kehilangan kesadaran diri sebagai manusia Papua. Tidak hanya kehilangan identitas diri, tetapi nilai-nilai, yang membuat kita menjadi manusia robot yang dalam tingkah laku hendak dikontrol oleh ideologi penguasa kolonial dan kapitalis (imperialis).

Saya kagum pada Mahasiswa Devio Tekege, Adewereknak Arebo, Hoseri Edoway dan Albertus dalam makna perlawanan melawan dikotomi-dikotomi, stigma-stigma, bahkan teori-teori hegemoni yang dibangun dan bertumbu subur dalam dan diluar kampus-kampus di Papua.

Post        : Admin
Sumber : Victor Yeimo (Ketua Umum KNPB Pusat)

Minggu, 03 Juni 2018

Mecky Yeimo: PEMATIK KESADARAN REVOLUSIONER "Trilogi Kesadaran Pemberontak"



PEMATIK KESADARAN REVOLUSIONER
"Trilogi Kesadaran Pemberontak"

Pemberontak Ia berani menggugat tanpa tedeng aling-aling akan kemapanan dalam dirinya. Pemberontakan jiwanya telah mewarnai kanvas kehidupan untuk dituangkan. Seturut Descartes, yaitu sosok filsuf ‘yang menyangsikan segalanya’, “cogito”.

Trilogi kesadaran, merupakan buah refleksi anatomi kesadaran Nurel demi mengembang-terbangkan sayap-sayap pemikirannya. Ujung pemikirannya, dibidikkan pada ranah pembebasan orisinalitas jiwa insan dari ketertindasan atas masa perubahan (pancaroba). Jejak jajakan intelektualnya, diberangkatkan dari asal kesadaran akan eksistensi diri menuju kegelisahan besar atas sejarah zaman. Lahan kesangsiannya adalah kehidupan sehari-hari dalam menggali nilai-nilai.

Berkiblat pada Goenawan Muhamad dipengantar bukunya, Eksotopi, berujar: “Sejak selama hampir separuh abad terakhir; seorang Indonesia adalah seorang yang peka oleh pengalamannya dengan kekuasaan. Pengalaman itu, sesuatu yang traumatis, bermula dari tubuhnya, dari ruang bersama tempat ia tinggal dan bergerak, dari saat pertemuannya dengan orang lain, dari penentuan identitas, dari kehidupannya berbahasa dan menafsirkan, dari kepercayaannya.”

Adalah sosok Nurel, kelahiran tanah Lamongan, 08 Maret 1976, sebagian dari orang Indonesia yang dimaksud Goenawan telah mempertajam pengalaman, dan menisbatkan dirinya untuk jadi wakil suara-suara pedesaan. Lewat karya-karya lainnya, Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga & Kulya Dalam Relung Filsafat, dan juga buku ini, menghantarkan kepada pemahaman, bahwa ada generasi muda yang memiliki kesadaran revolusioner saat ini.

BUDAYA SEMI

Dikajian ini, Nurel memosisikan kesadaran asimetris dengan segala kebijakan-kebijakan Negara yang digulirkan. Ia tak mudah terima kenyataan bulat-bulat, terus digugat hingga temukan kesadaran versinya. Kalau saya maknai, ia seolah mendambakan bangsa mandiri, tanpa intervensi siapapun. “Kenapa kita selalu belajar pada bangsa sudah ompong (yang telah kenyang pengalaman hingga seenak udelnya berbuat onar dimuka bumi). Bukankah bangsa asing sudah cukup mengocok perut otak kita, sebagai bola bekel, adu domba antara ideologi dalam pada bangsa kita sendiri.”

Ditopang “kesadaran murni”, ia sangat berharap bangsa ini percaya diri, dan mampu ciptakan wejangan sendiri walaupun itu bobrok. Bangsa yang tak lagi didekte oleh bangsa asing, ruh pendidikan tak lagi dikonsumsi dari negeri seberang, yang nyata-nyata tak sesuai dengan kepribadian kita.

Renung kesadaran Nurel, sengaja diletupkan meraih kembalinya karakter asli bangsa. Berpayung cinta tanah airnya, “Ingat, kita memilikinya; danau indah, rawa-rawa menawan, lautan megawan, kepulauan, rentet sekalung putri raja. Tapi dengan apa kita suguhkan kepada dunia, jikalau masih selalu pulas tidur mendengkur, mabuk tak bisa berbuat atas kekuasaan anggur asing.”

Budaya semi, dianggap Nurel sebagai penelitian pseudo ilmiah. Ia tuangkan kesadaran bebas ditengah pergulatan bangsa ini. Manusia yang benar-benar sempurna, bebas secara definitif, dan sempurna puas dengan diri yang sebenarnya. Jika penguasa malas adalah kebuntuan, maka perbudakan yang giat bekerja, sebaliknya merupakan sumber dari seluruh kemajuan manusiawi, sosial, dan historis. Sejarah adalah sejarah budak yang bekerja. (Alexander Koje’ve, dikutip Fukuyama).

ANATOMI KESADARAN

Dijelaskan Nurel, anatomi kesadaran merupakan gabungan psikologi diri dalam meramu filsafat kalbu keimanan dengan memakai timbangan nalar (hlm 172). Anatomi kesadaran adalah pemaknaan diri didepan cermin. Merefleksi segala yang ada bertopangan kesadaran diri, menelisik, meneliti bahwa perubahan harus terus dirasakan berkesadaran puncak.

Sebagaimana manfaat kesadaran, anatomi kesadaran merupakan esensi paling dalam. Yaitu, pengembangan fitrah insani untuk terus diperjuangkan meski pada ranah mengecewakan. Karakter suatu kesadaran takkan terbentuk jika tak mau merawat (kegelisahan atas keseimbangan integralitas diri sebagai diri bangsa). Garis inilah, yang selalu digebu agar terbentuk wacana baru, yaitu kesadaran diri.

Dicontohkan Nurel: “misalnya kita terkadang terima sepucuk surat dari kawan lama, lalu tahu-tahu dapati kegembiraan, sebab kawan itu tak berhubungan lama, bagi tanda mengingat lewat datangnya surat. Ketiba-tibaan inilah macam rindu tersembuhkan atas gerak luar yang nanti membentuk kesadaran baru, kiranya sapaan kalimat lembut memanggil jiwa atau sebaliknya jika surat yang datang berberita tragedi, kita bisa memberi motivasi agar yang terselubung permasalahan cepat teratasi.”
Anatomi kesadaran dapat mewujud atas kesungguhan cita, menancapkan kepercayaan yang dalam, agar gerak langkah menambah penciptaan atas kerja keras, demi mencapai tujuan yang diharapkan.

RAS PEMBERONTAK

Jiwa pemberontak tak dapat dilepaskan dari kesadaran. Ruh kesadaranlah, menyebabkan seseorang memberontak, menggugat, dan mendekonstruksi. Apapun disekitarnya, perlu diselaraskan dengan pemahaman dan kesadaran. Karena, kesadaran mutlak pemberontak hanya bersemai didalam diri.

Refleksi Nurel: “Kesadaran itu kekuasaan terbangun, berlangsung bagi naluri, berkembang dari sekumpulan pertanyaan dan ruang kosong penentu pijakan. Perbendaharaan dari sembuhan nalar atas daya tarik kontrak sosial dan kontrol tampak dinamai kesadaran kekuasaan.” (hlm 315).

Kekuasaan dan kesadaran adalah cara pandang mendasar, hadir atas penjajalan (percobaan) persepsi hingga menghasilkan premis penentu. Yaitu, dibangun melalui sarana mental evolusi nilai, terus dikembangkan di alam sekitar, dan hidup kita sehari-hari.

Yang terpenting, cara kerja membuang kebiasaan lama, bangun berkekuatan baru, berasal dari tiap diri kita masing-masing. Jiwa pemberontak, yang benar-benar berharap revolusi diri-dari revolusi nilai positif- yang selama ini kita abaikan.

Mabes KNPB Pusat.
Hollandia, 4 Juni 2018

Oleh: Mecky Yeimo (Sekertaris 1, KNPB PUSAT)